Penulis:
Ustadz Abdullah Taslim, M.A.
Kisah-kisah
keteladanan para ulama salaf tidak pernah habis diceritakan. Termasuk
sebaik-baik cara mereka memotivasi diri guna meningkatkan ketakwaan kepada
Allah Ta’ala. Kita mengambil teladan dari mereka tersebab jiwa manusia lebih
mudah mengambil teladan dari contoh yang berupa kisah nyata, dan menjadikannya
lebih semangat beramal serta bersegera dalam kebaikan. Imam Abu Hanifah
berkata, “Kisah-kisah (keteladanan) para ulama dan duduk di majelis mereka lebih
aku sukai daripada kebanyakan (masalah-masalah) fikih, karena kisah-kisah
tersebut (berisi) adab dan tingkah laku mereka (untuk diteladani).”
Teladan
kita kali ini Abdullah bin Mubarak Al-Marwazi (wafat pada 181 H). Imam besar
ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (generasi setelah tabi’in) terpercaya dan
teliti meriwayatkan hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
memiliki banyak keutamaan dan sifat terpuji. Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
berkata, “Beliau seorang yang terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan
hadis), orang yang memiliki ilmu dan pemahaman (yang dalam), sangat dermawan
lagi (sering) berjihad (di jalan Allah Ta’ala), terkumpul padanya (semua)
sifat-sifat baik.”
Di
antara keutamaan besar yang disebutkan dalam biografinya adalah ketika imam
besar di zaman beliau, Fudhail bin ‘Iyadh berkata kepada beliau, “Engkau
memerintahkan kepada kami untuk (hidup) zuhud, tidak berlebihan dan sederhana
(dalam kehidupan dunia), tapi kami melihat engkau mengekspor barang-barang
dagangan dari negeri Khurasan ke Tanah Haram/Mekkah (untuk dijual), bagaimana
ini?” Abdullah bin Mubarak menjawab, “Sesungguhnya aku melakukan (semua) itu
hanya untuk menjaga mukaku (dari kehinaan meminta-minta), memuliakan
kehormatanku (agar tidak menjadi beban orang lain), dan menggunakannya untuk
membantuku dalam ketaatan kepada Allah.” Lalu Fudhail bin ‘Iyadh berkata,
“Wahai Abdullah bin Mubarak, alangkah mulianya tujuanmu itu jika semuanya
benar-benar terbukti.”
Ternyata
ucapan beliau benar-benar terbukti. Beliau orang yang sangat terkenal dermawan,
membantu orang miskin dengan sumbangan harta sangat besar setiap tahun ,
membiayai semua perbekalan orang-orang yang menunaikan ibadah haji bersama
beliau.
ENAM
PELAJARAN
Beberapa
pelajaran berharga dapat kita petik dari kisah tersebut.
Pertama,
keutamaan bekerja mencari nafkah yang halal dan berusaha memenuhi kebutuhan
diri dan keluarga dengan usaha sendiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Tidaklah
seorang (hamba) memakan makanan yang lebih baik dari hasil usaha tangannya
(sendiri), dan sungguh Nabi Daud ‘Alaihis salam makan dari hasil usaha
tangannya (sendiri).”
Kedua,
termasuk sifat mulia yang dimiliki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
orang-orang yang saleh adalah mencari nafkah yang halal dengan usaha mereka
sendiri, dan tidak melalaikan mereka dari amal saleh lainnya, seperti berdakwah
di jalan Allah Ta’ala dan menuntut ilmu agama. Dalam hadis lain, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Nabi
Zakaria ‘Alaihis sallam adalah seorang tukang kayu.”
Ketiga,
usaha yang halal dalam mencari rezeki tidak bertentangan dengan sifat zuhud,
selama usaha tersebut tidak melalaikan manusia dari mengingat Allah Ta’ala.
Allah berfirman memuji hamba-hamba-Nya yang saleh, yang artinya,
“Laki-laki
yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual-beli dari
mengingat Allah, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada
hari (pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.”
(QS. An-Nur:37)
Imam
Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang tidak disibukkan/
dilalaikan harta benda dan perhiasan dunia, serta kesenangan berjual-beli
(berbisnis) dan meraih keuntungan (besar) dengan mengingat (beribadah) kepada
Rabb mereka (Allah Ta’ala) Yang Maha Menciptakan dan Melimpahkan Rezeki kepada
mereka, dan mereka adalah orang-orang yang mengetahui (meyakini) bahwa (balasan
kebaikan) di sisi Allah Ta’ala lebih baik dan lebih utama daripada harta benda
di tangan mereka, karena yang di tangan mereka akan habis/musnah, sedangkan
balasan di sisi Allah kekal abadi.”
Keempat,
bekerja dengan usaha yang halal, meskipun dipandang hina oleh manusia, lebih
baik dan mulia daripada meminta-minta dan menjadi beban orang lain. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh
jika salah seorang dari kalian mengambil tali, lalu pergi ke gunung (untuk
mencari kayu bakar), kemudian dia pulang dengan memikul seikat kayu bakar di
punggungnya lalu dijual, sehingga dengan itu Allah menjaga wajahnya (kehormatannya),
maka ini lebih baik daripada dia meminta-minta kepada manusia, diberi atau
ditolak.”
Kelima,
mulianya sifat ‘iffah (selalu menjaga kehormatan diri dengan tidak
meminta-minta) serta tercelanya sifat meminta-minta dan menjadi beban orang
lain. Inilah sifat mulia para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya,
“(Berinfaklah)
kepada orangorang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah. Mereka tidak
dapat (berusaha) di bumi. Orang yang tidak tahu (keadaan mereka) menyangka
mereka orang kaya karena mereka memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal
mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara
mendesak.” (QS. Al-Baqarah: 273)
Keenam,
keutamaan berdagang (berniaga) yang halal, dan inilah pekerjaan yang disukai
dan dianjurkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
Radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang sahih. Ada
pun hadis “Sembilan per sepuluh rezeki adalah dari perniagaan”, maka ini adalah
hadis yang lemah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani.
Semoga
menjadi kebaikan bagi semua orang yang membacanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar